JATIMTIMES- Kisah para nabi tentu menjadi cerita menarik bagi umat Islam. Soalnya, banyak sejarah yang dialami para nabi pada zamannya demi memperjuangkan agama Allah SWT. Kali ini, akan dikisahkan seorang nabi yang dibunuh gegara laporan iblis. . cukupmendasar antara al-Qurโ€Ÿan dan hadis Nabi SAW. Al-Qurโ€Ÿan bersifat qathโ€Ÿiy al- Pemikirannya tentang sejarah perkembangan kebudayaan Islam itu ditulis dalam tiga judul buku yang berbeda: Fajr al-Islam (cetakan pertamanya diterbitkan di Kairo pada tahun 1928 M), Dhuha al-Islam (cetakan pertamanya diterbitkan di Kairo pada HADISTtentang wanita sudah banyak dan sering disebutkan oleh Rasulullah ๏ทบ. Memang sebelum Islam mencerahkan pandangan manusia di jaman jahiliah, wanita hanya dipandang sebagai barang atau objek manusia lainnya. Dalam beberapa budaya, mereka yang terlahir sebagai perempuan, dikubur hidup-hidup. Vay Tiแปn Nhanh Ggads. Memahami hadis itu susah-susah gampang. Susah jika hadis yang dipahami mengandung banyak dimensi makna. Ini jelas jika tidak jeli, makna akan luput dari pemahaman pembaca. Gampang, jika hadis yang dibaca mengandung unsur-unsur yang mendukung keutuhan makna. Namun tampaknya, kesan susah-susah gampang dalam memahami hadis itu tidak berlaku bagi Kiai Ali Mustafa Yaqub al-maghfur lahu. Beliau punya cara unik dalam memahami hadis. Ada beberapa strategi yang digunakan Kiai Ali dalam memahami hadis-hadis Nabi. Strategi ini memang secara konsisten digunakan beliau ketika mencoba memberikan fatwa atau ketika melihat fenomena keagamaan umat Islam dalam kacamata pertama yang beliau gunakan ialah pahami dulu sistem metafora bahasa yang ada pada kandungan hadis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan dapat lepas dari penggunaan metafora. Ketika musim pemilu tiba, biasanya bahasa-bahasa kampanye menggunakan metafor-metafor ini. Misalnya, ada istilah tikus kampungโ€™ untuk merujuk kepada Jokowi. Lawan politik Jokowi menggunakan istilah ini untuk menyerang dirinya. Ada leksikon Cicak vs Buaya untuk merujuk pada konflik yang terjadi antara KPK dan kehidupan sehari-hari kita saja tidak mungkin lepas dari penggunaan metafor, apalagi agama yang dalam banyak pesan-pesannya selalu menggunakan strategi perumpamaan. Strategi pertama ini dapat digunakan untuk memahami beberapa hadis tertentu. Misalnya, dalam Fath al-Bari, Ibn Hajar mengemukakan sebuah hadis riwayat al-Bukhari. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah. Para istri bertanya kepada Nabi tentang siapakah yang paling cepat menyusul duluan sepeninggal nabi. Rasul pun menjawab โ€œYang paling panjang tangannyaโ€. Akhirnya mereka mengukur tangannya masing-masing dan ternyata yang paling panjang tangannya ialah Saudah. Hanya saja ternyata Zainab yang meninggal duluan sementara tanganya paling pendek dari istri-istri nabi lainnya. Zainab ini merupakan istri nabi yang paling banyak memahami hadis tersebut kita tentu harus mengetahui metafora yang digunakan. Di sini ada kaitan antara โ€œYang paling panjang tangannyaโ€ dan โ€œyang paling sering bersedekahโ€. Metafora panjang tanganโ€™ dalam kebudayaan Arab dikonotasikan sebagai perilaku yang sering memberi orang lain. Karena itu, bagi Kiai Ali, metafora perlu dipahami untuk memahami hadis-hadis yang mengandung banyak kedua, temukan illat dibalik pensyariatan sebuah hukum dalam hadis. Illat di sini bukan dalam pengertian hadis. Karena jika dalam sebuah hadis ada illat-nya, illat-nya tersebut dapat menyebabkan hadis menjadi lemah atau dhaif. Illat yang dimaksud dalam strategi ini termasuk dalam kajian usul fikih. Illat dalam kajian usul fikih terbagi menjadi dua, illat yang ada dalam nas agama dan illat yang dihasilkan dari ijtihad. Ini bisa digunakan untuk membaca makna beberapa hadis. Misalnya, hadis tentang perintah agar umat Islam harus berbeda secara penampilan dari kaum Musyrik. Nabi SAW bersabda โ€œ Bedakanlah diri kalian dari kaum Musyrik. Panjangkan jenggot dan cukurlah kumis kalian.โ€ Perintah panjangkan jenggot dan cukur kumis di sini dilandasi alasan/illat untuk berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Kaum musyrik di zaman nabi tentu berbeda dari kaum musyrik di masa sekarang. Karena itu memahami hadis ini dapat dilakukan dengan melihat illat perintah memanjangkan jenggot dan mencukur kumis itu. Jika di masa Nabi, kaum musyrik memanjangkan kumis dan mencukur jenggot namun di masa sekarang tentu jauh berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. Misalnya taruhlah kaum musyrik saat ini memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, tentu berdasarkan illat untuk berbeda itu, kaum muslim harus memanjangkan kumis dan mencukur ketiga, perhatikan kondisi geografis ketika sebuah hadis dituturkan. Strategi ini penting mengingat ada beberapa hadis yang berkenaan dengan arah ritual agama misalnya kiblat, buang hajat dan lain-lain. Meski letak geografis itu tidak bisa dijadikan sumber peletakan hukum, namun letak geografis juga dapat membantu kita memahami hadis. Misalnya, al-Bukhari dalam Sahih-nya meriwayatkan hadis dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasul SAW bersabda โ€œJika seseorang di antara kalian ada yang mau buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat, tapi menghadaplah ke arah timur atau barat.โ€ Dalam hadis ini tidak disebutkan posisi Rasul ketika menyabdakan hukum arah buang hajat ini. Namun dalam riwayat lain, Ibnu Umar menceritakan pengalamannya. Beliau mengatakan โ€œketika aku menaiki rumah Hafsah untuk beberapa keperluan, aku pernah melihat Rasul SAW sedang buang hajat sambil membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam.โ€Hafsah merupakan istri Nabi yang dinikahi setelah hijrah ke Madinah. Jelaslah di sini bahwa posisi Nabi saat itu berada di Madinah. Letak Madinah secara geografis berada di arah utara Mekkah. Karena itu hadis ini tidak boleh diamalkan secara tekstual di Indonesia karena letak geografis Indonesia berada di arah timur. Artinya ketika kita mengamalkan perintah nabi yang mengatakan โ€œmenghadaplah ke arah timur atau barat ketika buang hajatโ€ itu artinya kita โ€œmenghadap atau membelakangi kiblatโ€. Tentu ini tidak seperti yang disabdakan Nabi sebelumnya agar kita tidak menghadap kiblat. Artinya jika hadis tersebut diamalkan di Indonesia, maka โ€œmenghadaplah ke arah utara atau selatan ketika buang hajatโ€. Untuk memahami hadis ini, ada dua pendekatan; pertama, pendekatan secara lafal yang berlaku untuk kalimat pertama dari hadis tersebut, โ€œJangan menghadap kiblat atau membelakanginyaโ€. Kedua, pendekatan secara makna yang berlaku untuk kalimat kedua dari hadis tersebut, โ€œmenghadaplah ke arah timur atau baratโ€. Dua pendekatan ini, kata Kiai Ali, hanya bisa dilakukan bagi orang yang mengetahui letak geografisStrategi keempat, perhatikan kedisinian dan kekinian sebuah hadis. Karena hadis-hadis dituturkan dalam konteks masyarakat Arab, maka tentu kandungannya tidak melulu berkaitan dengan agama yang lepas dari bingkai budaya. Sejatinya, al-Quran dan hadis diwahyukan kepada Nabi tidak terlepas dari konteks yang mengitarinya, tidak turun dalam ruang dan waktu yang kosong dari budaya setempat. Meski kadang prinsip al-hadits arabiyyun lughatan wa alamiyyun maโ€™nan hadis itu meski secara lafal berbahasa Arab namun secara makna bersifat universalโ€™ bisa dipakai, namun hadis tetaplah hadis, ujaran Nabi yang berbahasa Arab, bahasa yang sepenuhnya mencerminkan kebudayaan Arab. Karena itu menurut Pak Yai, pahami hadis dalam bingkai ruang dan waktunya. Strategi ini digunakan beliau untuk memahami hadis-hadis yang berkenaan dengan kebudayaan Arab seperti pakaian misalnya. Hadis-hadis mengenai pakaian banyak sekali secara tekstual terhadap hadis-hadis pakaian ini akan mengimplikasikan bahwa pakaian Nabi wajib digunakan oleh umat Islam. Bagi Kiai Ali, bukan itu yang dimaksud sunnah Nabi. Mengikuti sunnah berarti ya kita harus memakai pakaian sesuai adat dan istiadat kita karena Nabi sendiri memakai pakaian sesuai tradisi Arab, bukan Persia atau lain-lain. Bahkan Kiai Ali berpandangan lebih ekstrim lagi. Bagi beliau, memakai pakaian yang tidak sesuai adat kebiasaan setempat atau pakaian itu berbeda dari budayanya disebutnya sebagai pakaian syuhrahโ€™. Si pemakainya akan dijerumuskan ke dalam Neraka. Begitu Kiai Ali berpendapat sambil mengutip hadis riwayat Ibnu kelima, perhatikan skala prioritas dalam ibadah. Strategi ini biasanya digunakan Kiai Ali untuk memahami hadis dalam kaitannya dengan ibadah haji atau umrah berulang. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dari segi pahala bersifat utama sementara yang lain lebih utama, maka ibadah yang lebih utama ini yang lebih diprioritaskan untuk diamalkan. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dampak positifnya untuk pribadi sementara ibadah yang lain dampak positifnya bukan hanya untuk pribadi namun juga untuk lingkungan sosial, maka ibadah yang berdampak social secara positif inilah yang diutamakan. Bahkan pandangan mengenai prioritas ibadah ini begitu mewarnai tulisan-tulisan Kiai Ali. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hal ini biasanya bernada provokatif seperti Haji Pengabdi Setan dan Kiyai Pemburu keenam, dahulukan intensionalitas syariah di atas tekstualitas hadis. Strategi ini memang tidak terlalu banyak dikupas dalam berbagai karya-karyanya. Kendati demikian, Kiai Ali memandang bahwa tekstualitas hadis tetap penting meski semangat yang melandasi hadis itu yang lebih penting. Contoh hadis yang berkenaan dengan strategi ini ialah perintah Nabi SAW kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani. Tekstualitas hadis ini mengatakan bahwa mempelajari bahasa Ibrani itu sunnah. Namun berdasar pada pemahaman atas intensionalitas hadis ini, Kiai Ali memandang bahwa belajar bahasa asing itu termasuk sunnah jika semangatnya untuk berdakwah dan kepada strategi pemahaman hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Kiai Ali Mustafa Yaqub menggunakan dua pendekatan sekaligus pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Masing-masing pendekatan ini dimungkinkan tergantung pada hadis yang akan dipahami. Artinya penggunaan pendekatan ini akan didorong oleh bagaimana sebuah hadis berbicara. Hadis yang berbicara tentang apa dan bagaimana akan menentukan dengan sendirinya model pendekatan yang dipakai. Dalam pepatah dunia penelitian dikatakan al-maudhu yafridl al-manhajโ€™ objek menentukan metode yang akan digunakan. Kiai Ali dalam hal ini telah berhasil membangun metode yang unik dalam memahami hadis dalam konteks keindonesiaan ArticlePDF Available AbstractThere is a lots of local traditions arab wisely maintained and preserved by the Prophet. Itโ€™s like, the pilgrimage to Mecca, the rule of law marriages, deaths, versification, and many more. All of this can be found in many Hadith are scattered in the books of hadith. The Prophet is in order to reconcile Islam with the forces of the local Arab culture, it is done so that the local Arab culture is not lost. Thus, the face of Islam as a religion that rahmatan li al-'Alamin, a religion that has a high appreciation of the tradition will be seen. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KEARIFAN DIALOGIS NABI ATAS TRADISI KULTURAL ARAB Sebuah Tinjauan Hadis Syaikhudin STAIN Blambangan Abstract There is a lots of local traditions arab wisely maintained and preserved by the Prophet. Itโ€™s like, the pilgrimage to Mecca, the rule of law marriages, deaths, versification, and many more. All of this can be found in many Hadith are scattered in the books of hadith. The Prophet is in order to reconcile Islam with the forces of the local Arab culture, it is done so that the local Arab culture is not lost. Thus, the face of Islam as a religion that rahmatan li al-'Alamin, a religion that has a high appreciation of the tradition will be seen. Kata kunci Tradisi Arab local, dialog, rekonsiliasi, apresiasi, hadis. A. Pendahuluan iyakini sepenuhnya Islam adalah agama yang sempurna dan bersifat universal. Tidak seorang pun bisa dikatakan sebagai muslim yang baik jika masih menyisakan keraguan atas kesempurnaan dan universalitas Islam tersebut. Di sisi lain, disadari pula bahwa Islam adalah agama yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi kultural Arab sebagai tempat kelahirannya. Islam datang sebagai respon atas keadaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Seperti diutarakan Zainul Milal Bizawie, Islam adalah agama yang sebenarnya lahir sebagai produk lokal Arab -tepatnya daerah Hijaz- yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehingga kemudian menjadi Islam universal. Oleh karenanya, seberapa pun kita meyakini bahwa Islam itu wahyu Tuhan yang universal dan ghaib, toh akhirnya dipersepsi D 188 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragaman masing-masing pemeluk di dalam Umar bin Khattab, sebagaimana dikutip Abu Hapsin mengatakan bahwa Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam ini telah banyak diadopsi dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam baik yang terkait dengan ritus, sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya. Dalam hal yang menyangkut ritual keagamaan, misalnya pelaksanaan ibadah haji, umrah, pengagungan terhadap Kaโ€™bah, kesucian bulan-bulan haram dan pertemuan umum pada hari Jumโ€Ÿat, merupakan contoh-contoh ritus pra Islam yang kemudian diadopsi oleh Islam setelah dilakukan modifikasi melalui ijtihad Nabi maupun wahyu al-Qurโ€™an. Karena itu, jika ada klaim kesempurnaan dan universalitas Islam hingga pada taraf menafikan arti penting memahami tradisi pra-Islam, itu sama halnya dengan memanipulasi Banyak para sejarawan muarrikhun menjadikan gap antara Islam dan tradisi Arab pra Islam dengan demarkasi moral dan ideologis yang sangat kontras. Masyarakat Arab pra Islam dipersepsikan sebagai masyarakat jahiliyah, kemudian Islam datang sebagai juru selamat yang membebaskan. Untuk beberapa hal, klaim tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi generalisasi ini telah memberikan pengaruh negatif dalam menumbuh-kan kritisisme sejarah. Ketersambungan tradisi antara masyarakat pra Islam dan pasca Islam menjadi fakta sejarah yang terabaikan. Akibatnya proses inkulturasi dan akulturasi tradisi Arab pra Islam dengan Islam dianggap sebagai fakta sejarah yang tidak penting untuk dikaji. Atau, kalaupun dikaji, terkadang terjadi kekeliruan verifikasi dan penafsiran. Oleh dari pada itu, persentuhan Islam dengan tradi Arab inilah yang kemudian coba didiskusikan dalam tulisan ini. Khususan, berusaha melacak sejauhmana hubungan dialektis antara Islam perdana dengan tradisi kultural lokal masyarakat Arab saat itu melalui perspektif hadis-hadis Nabi. Dipilihnya hadis adalah semata-mata mengingat hadis merupakan data 1 Zainul Milal Bizawie, โ€œDialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islamโ€ dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003, 34. 2 Abu Hapsin, โ€œIslam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawaโ€ dalam http// Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 189 historis yang mencatat langsung relasi Nabi dan masyarakatnya dengan aneka macam tradisi kulturalnya saat itu. B. Rekonsiliasi Islam terhadap Tradisi Kultural Lokal Isu klasik tentang apakah agama menjadi bagian dari kebudayaan, ataukah kebudayaan yang menjadi bagian dari agama tetap menarik diperbincangkan hingga kini. Seperti dikatakan para antropolog dan sejarawan, agama merupakan bagian dari kebudayaan religion is a part of every known culture. Mereka memandang kebudayaan sebagai titik sentral kehidupan manusia, dan mereka tidak membedakan antara agama/ kepercayaan yang lahir dari keyakinan masyarakat tertentu dengan agama yang berasal dari wahyu Tuhan kepada para rasul-Nya. Sebaliknya, para agamawan, umumnya memandang agama sebagai sumber dan titik sentral kehidupan manusia, terutama yang ada kitannya dengan sitem keyakinan credo dan sistem peribadatan ritus. Agama mempunyai doktrin-doktrin yang mengikat pemeluknya, dan diantara doktrin tersebut ada yang bersifat dogmatis, yang tidak mungkin ditukar dengan tradisi dan sistem budaya yang berlawanan. Meski begitu, di kalangan mereka ada yang meyakini bahwa dalam agama terdapat koridor yang memungkinkan adanya penyesuaian atau penyerapan antara agama dengan tradisi dan budaya yang berlaku di suatu masyarakat. Sehingga di situ terjadi proses saling mengisi, saling mewarnai dan saling Dalam Islam sendiri, tradisi kultural lokal biasa diasosiasikan dengan al-urf atau al-a>dah. Meski ada yang membedakan, namun umumnya para ulama mengartikan keduanya dalam pengertian yang sama, karena secara substantif keduanya memiliki makna sama, meskipun dengan ungkapan yang Adat al-a>dah adalah sebuah kecenderungan berupa ungkapan 3 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaโ€™ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta Lantabora Press, 2006, hlm. 266. 4 Seperti Shalih ibn Ghanim yang menyatakan bahwa meskipun antara al-a>dah dan al-urf dari segi bahasa terdapat kesamaan, namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi mafhumnya. Menurutnya, al-a>dah lebih umum dari al-urf. Al-a>dah mencakup segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa memperdulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan al-urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum al-a>dah al-ammah yang dilakukan 190 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 atau pekerjaan pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak Adapun al-urf seperti dikatakan Wahbah Az-Zuhaili adalah suatu perbuatan ataupun ucapan yang telah menjadi kebiasaan dan dikenal oleh masyarakat yang berlaku secara Para ulamaโ€™ umumnya membagi tradisi kultural ini menjadi dua kategori, yaitu pertama, tradisi kultural positif A>dat shahi>h, yakni tradisi yang tidak bertentangan dengan dalil syarโ€™i, tidak menghalalkan sesuatu yang haram, tidak membatalkan sesuatu yang wajib, tidak menggugurkan cita kemaslahatan, serta tidak mendorong timbulnya suatu kerusakan. Tradisi kultural semacam ini harus dilestarikan. Bahkan, segala sesuatu yang sudah difahami oleh masyarakat meski itu tidak menjadi tradisi, tetapi telah menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemaslahatan serta tidak bertentangan dengan syaraโ€™ maka harus dipelihara; Kedua, tradisi kultural negatif a>dat fasi>d, yakni tradisi yang berlawanan dengan dalil syariat, atau menghalalkan keharaman maupun membatalkan kewajiban, serta mencegah kemaslahatan dan mendorong timbulnya kerusakan. Tradisi semacam ini tidak boleh dipelihara, karena pemeliharaan atas adat jenis ini akan berakibat rusaknya fondasi hukum-hukum syariat. Namun Abdul Wahab Khalaf menggaris bawahi bahwa apabila a>dat fasi>d termasuk kebutuhan primer dlaru>riya>t maka ia boleh dipelihara dan dijadikan acuan. Seperti dalam keadaan darurat dibolehkan melakukan hal yang sebenarnya diharamkan. Dan apabila a>dat fasi>d itu tidak dilakukan, maka kaum muslimin akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup Imam As-Syathibi, dengan bahasa yang sedikit berbeda sebagaimana dikutip Tholhah Hasan, membagi tradisi kultural menjadi dua macam, yaitu berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Lihat Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra Riyadl Dar Belensiah, tt, hlm. 335. 5 Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual Surabaya Khalista. 2009, hlm. 274. 6 Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami Beirut Dar al-Fikr, 1986, hlm. 828. 7 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I Bandung Risalah, 1985, hlm. 133. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 191 1. Tradisi yang berdasarkan syaraโ€™, yakni tradisi yang dikuatkan oleh dalil syarโ€™i, seperti dalam wujud kewajiban atau kesunatan, atau yang dinafikan oleh syaraโ€™ seperti dalam wujud keharaman atau kemakruhan. Bila berbentuk wajib atau sunnah harus dan baik melakukannya. Dan yang berwujud haram dan makruh harus meninggalkannya. 2. Tradisi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, tetapi syaraโ€™ tidak membuat ketetapan apapun, tidak melarang dan tidak menyuruh. Contohnya, โ€œperingatan hari besar nasionalโ€. Maka hal tersebut diserahkan kepada budaya dan maslahah dari masing-masing daerah. Apakah akan melakukannya atau Dalam lintasan sejarahnya, dialektika Islam dan tradisi kultural ini telah melahirkan wajahโ€™ Islam yang bervariatif. Mulai dari varian Islam yang berskala lokal, semisal Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Madura, dan seterusnya, hingga dalam ranah yang lebih besar seperti Islam Arab, Islam Iran, Islam Cina, Islam Amerika, Islam Indonesia, dan sebagainya yang masing-masing memiliki bangunan kebenaran sendiri-sendiri. Munculnya varian-varian Islam semacam ini tentu merupakan hal yang tak bisa terelakkan. Seperti dikatakan John L. Esposito ketika mengamati masalah relasi Islam dan budaya lokal di Asia Tenggara, bahwa antara Islam sebagai sistem kepercayaan dan budaya lokal adat memiliki keterikatan yang sangat erat dan tak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya seperti zat dan Wajar bila kemudian, ketika Islam berkembang, ia tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu waktu ke waktu yang Seperti di Indonesia, Jawa khususnya, akan ditemukan model Islam yang sangat khas dan berbeda dengan yang ada di Arab selaku tempat kelahirannya. Ada tradisi berupa ritus-ritus yang biasa dilakukan dari sejak bayi dalam kandungan, pasca kelahiran, perkawinan hingga kematian dan pasca kematian. Misalnya ada upacara mitoni, yaitu selamatan pada saat kehamilan mencapai tujuh bulan, upacara puputan, selamatan pada saat sisa 8 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaโ€™ah, hlm. 211. 9 M. Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jamaโ€™ah, hlm. 217. 10 Zainul Milal Bizawie, โ€œDialektikaTradisi Kultural..., hlm. 35. 192 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 tali pusar bayi lepas, upacara midodareni, selamatan yang dilakukan di kediaman calon mempelai wanita pada malam upacara pernikahan untuk menebus kembar mayang oleh calon suami, upacara tahlilan dan yasinan yang dilaksanakan sejak hari pertama kematian hinga hari ke tujuh, dan banyak lagi ritus-ritus lainnya yang sama sekali tidak pernah ada precedence sebelumnya baik dari Rasulullah Muhammad saw. maupun para sahabatnya. Berbagai rekonsiliasi atau bahkan mungkin akulturasi ini, meminjam bahasa Gus Dur, adalah sebuah โ€œpribumisasi Islamโ€. Yakni sebuah usaha untuk melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal, supaya ia tidak hilang. Sebab dengan beginilah wajah Islam sebagai agama yang rahmatan li al-alamin, agama yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap tradisi, akan terlihat. C. Pergumulan Nabi Islam dan Tradisi Kultural Arab Khalil Abdul Karim, seorang pemikir asal Mesir, menyatakan bahwa banyak hal yang terkait dengan tradisi kultural lokal Arab pra-Islam yang diadopsi dan diakomodir untuk kemudian dijadikan sebagai bagian dari doktrin keagamaan Islam. Hasanuddin Hasymi, seperti dikutip Abu Hapsin, juga menyatakan hal yang sama. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa al-Qurโ€™an maupun ijtihad Nabi Muhammad saw. tidak menghapus semua budaya yang telah mengakar dalam prikehidupan bangsa Arab. Yang dilakukan Nabi justru melakukan akulturasi dan inkulturasi dengan budaya setempat yang lebih memungkinkan adanya penerimaan masyarakat secara inklusif terhadap Islam. Kebanyakan hukum-hukum yang menyangkut perdata dan pidana, seperti biasa ditemukan dalam berbagai kitab fiqh, merupakan keberlanjutan dari hukum-hukum yang telah ada sebelum Islam. Di antara pranata sosial tersebut ada yang diterima secara total, ada yang diterima dengan modifikasi dan ada yang ditolak. Namun khusus untuk bidang muโ€™amalah dan pranata sosial kebanyakan diterima dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Tradisi haji misalnya. Sebelum kehadiran Islam, aktivitas ini dalam setiap~ tahunnya sudah dilaksanakan masyarakat Arab . Ka'bah di kota Makkah merupakan tempat yang selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat 11 Mochammad Muโ€™izzuddin, โ€œKontribusi Dialek Quraisy Dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab Fushha Kajian Sosio-Psikolinguistikโ€ dalam http// Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 193 Arab setiap tahunnya untuk melaksanakan ibadah haji dan mensucikan berhala-berbala mereka yang terdapat di sekitar Ka'bah. Bahkan, Kaโ€™bah yang ada di Makkah ini bukan hanya diziarahi oleh suku-suku Arab, tetapi juga banyak dikunjungi oleh umat Yahudi dan Nasrani dari luar Begitu juga dalam hal berkabung karena kematian. Pada zaman Nabi dan para sahabatnya dulu, sudah ada budaya dan tradisi lokal Arab dalam tata cara berkabung apabila seseorang ditinggal mati oleh keluarganya. Wanita-wanita biasanya menangis histeris, menyakiti badan mereka, merobek-robek pakaian mereka dan lain sebagainya. Kemudian tradisi tersebut sebagian ditolelir oleh Islam, tetapi lainnya secara bertahap dihilangkan. Boleh menangis tetapi dilarang menjerit-jerit histeris sambil menyakiti badan atau merobek pakaian niyahah, boleh bersedih tetapi dilarang berlarut terlalu lama. ๎€Ÿ ๎ƒด๎— ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒบ๎‚ป ๎ƒ๎‚ฅ ๎‹ ๎ƒฎ๎€ธ ๎ƒฐ๎€” ๎‚ฟ๎‡ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒด๎‚Ÿ ๎ƒ๎‚ฅ ๎‹ ๎ƒฎ๎€œ ๎ƒƒ๎€’ื ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ ๎ƒด๎—๎…๎ƒด๎€ผ ๎ƒฎ๎€‰๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎‚น๎ƒฒ๎™๎ƒฐ๎‚๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒต๎Œ ๎ƒฐ๎€• ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ข ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎ฑ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎€’ ื๎€Ÿ ๎ซ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒท๎ฌ ๎ƒด๎€˜ ๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ๎‹ ๎ƒฎ๎€„ ๎‚ฟ๎‡ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ ๎‚บ ๎ƒฎ๎ช ๎ƒƒ๎€๎ƒฎ๎€Š ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎‚ ๎ƒฎ๎‚ฃ ๎‹๎ƒฎ๎€˜๎ƒฏ๎€๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎— ๎ƒฐ๎€ผ๎ƒฎ๎€‰๎€Ÿ ๎ซ๎‚ฟ๎€ ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒฐ๎€Š ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎„๎ƒฐ๎ƒ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ๎ƒด๎ฐ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒต๎‚ฃ๎ช๎ƒฏ๎€ผ๎ƒฐ๎€ž๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒด๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‚พ๎‚ฉ๎‹๎’๎€๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€ƒ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎—๎ƒฐ๎€ผ๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒต๎‚ฒ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฐ๎€‡ ๎ƒถ๎™ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒด๎— ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ก ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ ๎ƒฏ๎‚ฃ ๎ช ๎ƒฏ๎€ผ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎‚ต๎ช๎ƒฏ๎€‰๎ƒฎ๎‚ฅ๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎‹๎‚ฟ๎€’๎€Ÿื๎ช๎ƒ€๎€’๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ซ๎ƒฎ๎€น๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฐ๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€ฟ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎ƒด๎๎ƒฐ๎€•๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒด๎๎ƒฎ๎…๎ƒด๎€Š๎‹๎‚ฟ๎€Ž๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ๎ƒฎ๎—๎ƒฎ๎€†๎ƒฎ๎ช๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฆ ๎ƒฎ๎€ˆ ๎ƒฎ๎‚ฃ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒถ๎‚๎‚ฟ๎ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎ง ๎ƒฏ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ๎ƒด๎ฐ ๎ƒฎ๎‚ฅ๎€Ÿ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒบ๎ฌ ๎ƒด๎€˜ ๎ƒถ๎ƒ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚• ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎ƒฏ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ถ ๎ƒฐ๎ช ๎‚ฟ๎€ฟ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎‚บ ๎‚ฟ๎‚— ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒถ๎‚ ๎‚ฟ๎๎‚ฟ๎€๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎ƒท๎ฌ๎ƒด๎€˜๎ƒถ๎ƒ๎€’ ื ๎€Ÿ๎ซ ๎‚ฟ๎€๎ƒฎ๎€˜๎‚ฟ๎€๎€Ÿื๎ƒฐ๎ช๎‚ฟ๎€๎ƒฎ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚œ๎ƒบ๎˜๎ƒฎ๎€ผ๎ƒฏ๎€–๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒด๎€๎‚ฟ๎€’๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎Œ๎ƒƒ๎๎‚ฟ๎€ฟ๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒ๎‚ท๎ƒฐ๎š๎ƒฏ๎€œ๎ƒด๎€ƒ๎€Ÿ๎‹๎‚ฟ๎€’๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎€ผ๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒ๎ก๎ƒฐ๎€“๎ƒฎ๎—๎ƒด๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚œ ๎ƒบ๎˜ ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฏ๎€– ๎€Ÿ ๎‹ ๎‚ฟ๎€’ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎ƒ๎‚™ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎ช ๎ƒฏ๎€ผ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฐ๎€ž ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎‹ ๎‚ฟ๎€’ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ฟ ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎‹ ๎ƒฎ๎€Š ๎‚ฟ๎‚— ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ื ๎ƒฎ๎˜ ๎ƒฎ๎„ ๎ƒด๎€ƒ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ ๎ƒด๎ฐ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎™ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‹ ๎‚ฟ๎€‘ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎ ๎ƒฐ๎€• ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒด๎‚• ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎ƒฏ๎€˜ ๎ƒด๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚œ ๎ƒถ๎˜ ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฏ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎Ž ๎ƒบ๎… ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎ƒ๎‚™ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ง ๎ƒฎ๎€‡ ๎ƒฐ๎™ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎‚น ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎€” ๎‹ ๎ƒฎ๎€ž ๎ƒด๎€’ ๎€Ÿ ๎ซ ๎‚ฟ๎€’ ๎ƒ๎‚™๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚œ๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€น๎ƒด๎‚œื๎ƒฎ๎™๎ƒท๎€™๎€’๎‹๎ƒด๎€ƒ๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€š๎ƒฐ๎€œ๎ƒฎ๎€–๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎‚๎ƒฎ๎‚ฅ๎‹๎ƒฎ๎€›๎ƒด๎€œ๎ƒƒ๎€’๎‹๎ƒด๎€ƒ๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€“๎ƒฐ๎™๎ƒฎ๎€–๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€ธ๎ƒฎ๎€ผ๎ƒƒ๎€’๎‹๎ƒด๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎…๎ƒด๎€ Dari Ibn Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah meninjau Sa'ad bin Ubadah dan besertanya Abdur Rahman bin Auf, Sa'ad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhum. Kemudian Rasulullah menangis. Ketika orang-orang sama mengetahui tangisnya Rasulullah maka merekapun menangislah. Selanjutnya beliau bersabda "Adakah engkau semua tidak mendengar? Sesungguhnya Allah itu tidak akan menyiksa sebab adanya air mata yang mengalir di mata, tidak pula karena kesusahan hati, tetapi Allah menyiksa itu ialah dengan sebab perbuatan ini 12 Abu Hapsin, โ€œIslam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawaโ€ dalam http// 194 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 ataupun Allah memberikan kerahmatannya." Beliau menunjuk kepada lisannya. Sesungguhnya mayit akan disiksa sebab ditangis keluarganya. Kemudian Umar memukulkan sebuah tongkat, melemparkan suah batu dan menaburkan Ritus Islam lain yang juga bermula dari tradisi masyarakat Arab pra-Islam bisa dilihat dari tradisi penghormatan terhadap bulan-bulan tertentu yang dalam al-Qurโ€™an disebut dengan arbaโ€™atu hurum. Bulan-bulan dimaksud adalah bulan Dzulqaโ€™dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Dalam rentang waktu tiga bulan pertama, masyarakat Arab pra Islam menjadikannya sebagai waktu untuk berhaji, sementara bulan Rajab mereka manfaatkan untuk ibadah umrah. Itulah karenanya mereka mendeklarasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut tidak boleh ada peperangan. Ketika Islam datang, tradisi pensucian keempat bulan itu pun dilanjutkan sebagaimana terekam dalam al-Qurโ€™an, surat al-Taubah 36. ๎ƒฎ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒด๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ช ๎ƒฐ๎‚ฅ ๎” ื ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎‚ž ื ๎ƒฎ๎‚น ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒถ๎€ž ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ค ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ˆ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ถ ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒด๎‚œ ๎‹ ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒด๎€‘ ๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎€ ๎€Ÿ ื ๎ƒฑ๎™๎ƒฐ๎„๎ƒฎ๎€Š๎€Ÿ๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎€ท๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฐ๎€…ื๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฎ๎—๎ƒฐ๎ƒ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒ๎‚ฅ๎ช๎ƒฏ๎„๎ƒท๎€ท๎€’ื๎€Ÿ๎‚ฟ๎‚๎ƒถ๎—๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎ƒ๎‚™๎€Ÿ๎‹๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎‚๎‚ฟ๎€‘๎€Ÿ๎‚ผ๎๎’๎€๎‹๎‚ฟ๎€‘๎€Ÿ๎ƒฎ๎€ฎ๎ƒด๎€‘๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€ท๎ƒฏ๎‚๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿื๎ช๎ƒ€๎๎ƒด๎€„๎‹๎‚ฟ๎€๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒฐ๎ง๎ƒ€๎€๎ƒฎ๎€ž๎ƒ€๎€พ๎ƒฐ๎€”๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒถ๎จ๎ƒ๎„๎…๎ƒด๎€๎€Ÿื๎ช๎ƒฏ๎‚ ๎ƒด๎ ๎ƒƒ๎€ป ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎ต๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ง ๎ƒณ๎ƒด๎… ๎‚ฟ๎€ฟ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ ๎€– ๎ƒณ๎ƒด๎— ๎€’ื ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎ฅ ๎ƒด๎€’ ๎ƒฎ๎‚ค๎€Ÿ ๎ƒฒ๎‚ถ ๎ƒฏ๎™ ๎ƒฏ๎€‡ ๎€Ÿ ๎‚ฝ๎ ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฎ๎€ƒ๎ƒฐ๎‚ฅ ๎‚ฟ๎‚—๎‚ฟ๎€ฟ๎ƒฏ๎€–๎€Ÿ๎ƒฐ๎ง๎ƒ€๎€๎ƒฎ๎€”๎ช๎ƒ€๎๎ƒด๎€„๎‹๎€Ÿ๎ƒฎ๎€ฎ๎ƒด๎€ฟ๎ƒถ๎€™๎ƒฏ๎‚๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฎ๎ก๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿื๎ช๎ƒฏ๎‚๎‚ฟ๎๎ƒฐ๎€ื๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‚ผ๎๎’๎€๎‹๎‚ฟ๎€‘ูฃูฆ๎€Ÿ๎€Ÿโ€œSesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah ketetapan agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang Demikian halnya dengan tradisi puasa Asyuraโ€™. Sebagaimana diceritakan Aisyah, bahwa masyarakat Quraiys Arab sebelum kedatangan Islam telah terbiasa berpuasa Asyuraโ€™ 10 Muharram. ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื ๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฌ๎ƒด๎ฐ๎ƒฎ๎‚ฅ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€ท๎ƒด๎ฏ๎‹๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ๎… ๎ƒด๎€ƒ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎‚ฟ๎‚๎ƒฎ๎‚น๎ƒฐ๎™๎ƒฏ๎€๎€Ÿ ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ถ๎‹ ๎ƒฎ๎€ท ๎ƒด๎€•๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒต๎ฅ๎ƒด๎€’๎‹๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎‚๎‚ฟ๎๎ƒฐ๎€ž๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ต ๎ช ๎ƒฏ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‹ ๎‚ฟ๎€‘ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ ๎ƒถ๎… ๎ƒด๎ ๎ƒด๎€• ๎‹ ๎ƒฎ๎€› ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎œ ๎ƒฐ๎€– ๎ƒฎ๎™ ๎ƒ€๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฏ๎€“ ๎ช ๎ƒฏ๎€ธ ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚• ื ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎ช ๎ƒฏ๎€Š ๎‹ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ถ ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‹ ๎‚ฟ๎€‘ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎Ž ๎‚ฟ๎€’ ๎‹ ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎ƒฎ๎€‰13 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 1221 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 14 QS. al-Taubah 36. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 195 ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎‚๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚•ื ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎ช ๎ƒฏ๎€Š ๎‹๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ถ ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎‚ด ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ท ๎‹ ๎ƒฎ๎€น๎ƒฎ๎€“ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ช ๎ƒ๎™ ๎ƒ€๎€ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒถ๎‚ ๎‚ฟ๎ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎€“ ๎‹๎ƒฎ๎… ๎ƒด๎€ธ ๎ƒด๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎€“ ๎‚ฟ๎‚— ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฎ๎€“๎‹ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎ƒ ๎€–๎ƒด๎— ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ถ ๎ƒด๎—๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎‹๎ƒถ๎‚ ๎‚ฟ๎ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฏ๎€“ ๎ช๎ƒฏ๎€ธ ๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚•๎‹๎ƒฎ๎€Š๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ ๎‚ฟ๎€‘ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚• ๎‹ ๎ƒฎ๎€Š ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€“ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฎ๎€“ ๎‹ ๎ƒฎ๎ฑ Dari Hisyam Ibn Urwah dari ayahnya, bahwa โ€™Aisyah ra. berkata โ€Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa โ€™Asyura. Rasulullah saw. juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau saw. melakukan puasa tersebut dan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa โ€™Asyura. Lalu beliau mengatakan Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya tidak berpuasa.โ€15 Bukan hanya suku Quraiys, umat Yahudi Madinah pun juga berpuasa Asyuraโ€™. Mereka meyakini pada bulan ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Karena itu kemudian mereka memuliakan dan menetapkan tanggal 10 Muharram/Asyuraโ€™ untuk berpuasa sebagai wujud syukur atas pertolongan Allah tersebut. ๎ƒด๎— ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒท๎ฌ ๎ƒด๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚พ๎™ ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฏ๎€† ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎— ๎… ๎ƒด๎€ผ ๎ƒฎ๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒท๎ฌ ๎ƒด๎€” ๎‹ ๎ƒฎ๎…๎ƒด๎€™ ๎ƒฐ๎€ ๎ƒถ๎€ž ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚œ ๎ช ๎ƒท๎€– ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚ท๎‹๎ƒฎ๎…๎ƒƒ๎€พ๎ƒฏ๎€‰๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎ƒด๎—๎ƒฎ๎‚๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ถ๎ƒด๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒถ๎‚๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎ƒถ๎ฌ๎ƒด๎€˜๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ๎ƒด๎ฐ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎‚พ๎‚ง ๎‹ ๎ƒถ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎… ๎ƒด๎€ƒ ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฐ๎ง๎ƒฏ๎€•๎ƒฎ๎—๎ƒฎ๎€†๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎ƒ๎€–๎ช ๎ƒฏ๎€“ ๎ช ๎ƒฏ๎€ธ ๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‚–๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ณ๎ƒฎ๎™๎ƒƒ๎€Ž๎‚ฟ๎‚—๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ซ๎ƒฎ๎€‰๎ช๎ƒฏ๎€“๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎…๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎ƒถ๎€›๎ƒฎ๎€”๎€Ÿ๎ƒฒ๎‚ถ๎ƒฐ๎ช๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎ƒฎ๎ช๎ƒฏ๎€•๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒฒ๎ง๎…๎ƒด๎€ป๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒฒ๎‚ถ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ื ๎ƒฎ๎˜ ๎ƒฎ๎€• ๎€Ÿ ื ๎ช ๎ƒ€๎€’ ๎‹๎‚ฟ๎€ฟ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚• ื๎ƒฎ๎‚ฅ ๎ช ๎ƒฏ๎€Š ๎‹ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎ƒ ๎ƒฐ๎€ผ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฑ๎€“๎ƒฐ๎ช๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎€“ ๎‹ ๎ƒฎ๎… ๎ƒด๎€ธ ๎ƒด๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€“ ๎‚ฟ๎‚— ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฎ๎€“ ๎‹ ๎ƒฎ๎€ธ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎ง ๎ƒฏ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒด๎€“ ๎€Ÿ ๎ซ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ช ๎ƒฏ๎‚ ๎ƒด๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ซ ๎‚ฟ๎€’ ๎ƒฐ๎‚น ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€ฟ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎ƒด๎€’๎€Ÿื๎ƒฑ๎™๎ƒƒ๎€๎ƒฏ๎€Š๎€Ÿ๎ซ๎ƒฎ๎€‰๎ช๎ƒฏ๎€“๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ถ๎‹๎ƒฎ๎€ธ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ท๎ƒฐ๎ช๎ƒฎ๎€๎ƒฐ๎™๎ƒด๎€ Dari Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. ketika datang ke Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu Asyuraa 10 Muharram. Mereka berkata, โ€œ Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah. Rasul saw. berkata, โ€œSaya lebih berhak mengikuti Musa as. dari mereka.โ€ Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.โ€16 Selain tradisi yang terkait dengan ritus, Islam juga banyak melakukan adopsi hukum-hukum baik pidana maupun perdata. Nikah, misalnya, dalam tradisi Arab pra-Islam merupakan lembaga yang sah untuk menyatukan laki-15 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 1863 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 16 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 3145 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 196 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 laki dan perempuan dalam ikatan keluarga. Banyak ragam pernikahan yang telah menjadi tradisi masyarakat Arab, seperti perkawinan mutโ€™ah,17 al-syighar,18 al-tah}li>l,19 dan lain sebagainya. Namun beberapa model perkawinan ini ditolak oleh Nabi baca Islam karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kehormatan wanita. Sebagaimana diriwayatkan Al-Bukha>ri> dan Muslim dalam kitab S}}ahi>h-nya, bahwa Nabi melarang pernikahan al-syighar. ๎ƒฏ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚ฅ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎‚๎ƒฏ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ ๎ƒด๎ฐ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ื๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚พ๎ก ๎ƒด๎€ ๎‹๎ƒฎ๎€” ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‚ฝ๎ฅ๎ƒด๎€’๎‹๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€”๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎€˜๎ƒฐ๎€ˆ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฃ๎ƒฏ๎€‰๎ช๎ƒฏ๎€–๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎ช๎ƒฎ๎€ฝ ๎ƒบ๎€ท ๎€’ ื ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ฅ ๎‹ ๎ƒฎ๎€ฝ ๎ƒบ๎€ท ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ซ ๎ƒฎ๎„ ๎ƒฎ๎€” ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฎ๎€† ๎ƒบ๎‚น ๎ƒฎ๎š ๎ƒฏ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎‚ท๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ซ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฐ๎€ƒื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฆ ๎ƒฏ๎€† ๎ƒถ๎™ ๎€’ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒบ๎‚น ๎ƒฎ๎š ๎ƒฏ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ฅ ๎‹๎ƒฒ๎‚ณื๎ƒฎ๎—๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎‚๎ƒฏ๎„๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฎ๎›๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎ƒฎ๎€™๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฐ๎€ƒื๎€Ÿ๎ƒฏ๎™๎ƒฎ๎€ˆ๎†๎ƒƒ๎€’ื Dari Nafiโ€™, dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah saw. melarang pernikahan syighar, yakni pernikahan di mana seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki, dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuannya dan tidak ada mahar di antara ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚พ๎ก ๎ƒด๎€ ๎‹๎ƒฎ๎€” ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚œ ๎ช ๎ƒท๎€– ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎™ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฐ๎€ผ ๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ณ ื ๎ƒถ๎‚ฆ ๎ƒถ๎™ ๎€’ ื ๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎‚พ๎ก๎ƒด๎€ื๎ƒฎ๎‚ฅ๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒถ๎‚๎ƒฎ๎€œ๎ƒฏ๎€“๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎‚น๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎ƒ๎‚ถ๎‹๎‚ฟ๎๎ƒฐ๎€‰๎ƒ๎‰๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ฅ๎‹๎ƒฎ๎€ฝ๎ƒด๎€Š๎€Ÿ๎‹๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎ƒถ๎ฌ๎ƒด๎€˜๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎‚๎ƒฏ๎€ Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi saw. bersabda โ€œTidak ada pernikahan syigar dalam Islam.โ€21 17 Yaitu pernikahan yang dalam akad ditetapkan masa berlakunya untuk waktu tertentu kontrak. 18 Yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya tukar-menukar anak atau saudara perempuan. 19 Yaitu suatu perkawinan antara laki-laki dan wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia ditalak oleh suaminya yang kedua. 20 Al-Bukha>ri>, S}h}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 4720 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 21 Muslim, S}ah}i>h Muslim, No. 2539 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 197 Begitu pun dengan pernikahan al-tah}li>l dan mutโ€™ah Nabi secara tegas juga melarangnya. Beliau berkata ๎ƒƒ๎€ ๎ƒด๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ถ ื ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฐ๎€• ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎‚ ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎‚พ๎• ๎ƒด๎€’ ๎‹ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฐ๎€“ ๎ƒฎ๎‚ฆ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚พ๎™ ๎ƒด๎€“ ๎‹ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ช ๎ƒฏ๎€ƒ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡ ๎€Ÿ ๎‚พ๎‚ฅ ๎‹ ๎ƒถ๎€ท ๎ƒฎ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎— ๎ƒถ๎‚ ๎ƒฎ๎€œ ๎ƒฏ๎€“ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€“๎ƒ๎™๎ƒฎ๎€œ ๎ƒฏ๎‚ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ต ๎ช ๎ƒฏ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎จ ๎ƒฎ๎€ผ ๎‚ฟ๎€’ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎‚พ๎‚ง๎‹๎ƒถ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒื๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎€๎ƒฏ๎ฉ๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฆ๎’๎๎ƒฎ๎€œ๎ƒฏ๎‚๎ƒƒ๎€’ื๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฆ๎€ด๎ Dari I bn A bbas, dia berka ta b ah wa R asu lu lla h sa w Rasulullah melaknat muhallil dan muhlallal ื๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎‚๎ƒฏ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒ๎š๎€–๎ƒ๎š๎ƒฎ๎€ผ๎ƒƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€ƒ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎‚พ๎™๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎‚๎ƒฏ๎€”๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒด๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฏ๎—๎ƒถ๎‚๎ƒฎ๎€œ๎ƒฏ๎€“๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎…๎ƒด๎€ƒ๎ƒถ๎™๎€’๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒฏ๎ก๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ฟ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ต ๎ช ๎ƒฏ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ก ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‹ ๎‚ฟ๎€‘ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒถ๎€” ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ ๎‹ ๎ƒฎ๎€ƒ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒท๎ฌ ๎ƒด๎ƒ ๎ƒฎ๎„ ๎ƒฏ๎€› ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎‚ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€‰๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎„๎ƒท๎€–๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎‹๎ƒด๎€’๎ƒฎ๎‚ค๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ถ๎ƒถ๎™๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒฐ๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎ƒ๎‚™๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎‚•๎‹๎ƒฎ๎€ž๎ƒบ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒด๎€“๎€Ÿ๎ƒ๎‚ญ๎‹๎ƒฎ๎€™๎ƒฐ๎‚๎ƒด๎€™๎ƒฐ๎€‰๎‹๎ƒด๎€’ื๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒฐ๎ง๎ƒ€๎€๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฏ๎Ž๎ƒฐ๎€”๎ƒด๎‚ค๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฏ๎Ž๎ƒฐ๎ƒ๎ƒ€๎€‘๎€Ÿ๎ƒฐ๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ฌ๎ƒบ๎€”๎ƒ๎‚™๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚ง๎‹๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒ๎‚ถ๎ƒฐ๎ช๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎ซ๎‚ฟ๎€’๎ƒ๎‚™๎€Ÿ๎‚ฟ๎ฅ๎‹๎ƒฑ๎€—๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎€Š๎€Ÿ๎ƒถ๎จ๎ƒฏ๎€•๎ช๎ƒฏ๎‚๎ƒฏ๎€™๎ƒฐ๎…๎ƒฎ๎€„๎‚–๎€Ÿ๎‹๎ƒถ๎‚๎ƒด๎€“๎€Ÿื๎‚น๎ƒฏ๎˜๎ƒฏ๎€ˆ๎ƒƒ๎‡๎ƒฎ๎€„๎€Ÿ๎‹๎‚ฟ๎€’๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎‚ฟ๎๎…๎ƒด๎€˜๎ƒฎ๎€‰๎€Ÿ๎ƒบ๎ฆ๎ƒฎ๎€๎ƒฏ๎…๎ƒƒ๎๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฒ๎‚•๎ƒฐ๎ฌ๎ƒฎ๎€Š๎€Ÿ๎ƒถ๎จ๎ƒฏ๎„๎ƒฐ๎ƒ๎ƒด๎€“๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚ธ๎ƒฎ๎—๎ƒฐ๎ƒ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ท๎‹๎‚ฟ๎€‘๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒฎ๎‚๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒด๎๎ƒฎ๎€“๎‹๎ƒฎ๎…๎ƒด๎€ฟ๎ƒƒ๎€’ื โ€ฆMenceritakan kepadaku al-Rubaiโ€™ Ibn Sairah al-Juhani bahwa ayahnya telah bercerita kepadanya bahwa dia bersama Rasulullah, kemudian beliau bersabda โ€œHai manusia, sesungguhnya saya pernah mengizinkan kamu sekalian untuk mengawini wanita secara mutโ€™ah. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal itu nikah mutโ€™ah sampai hari kiamat. Barang siapa yang saat ini ada dari kalangan para istrinya yang dikawini secara mutโ€™ah maka hendaklah dibatalkan akadnya. Janganlah kamu sekalian mengambil kembali apa yang telah kamu berikan kepada mereka para istri yang telah kamu kawini secara mutโ€™ah itu.โ€23 Di antara model nikah masyarakat Arab pra Islam yang diterima dan kemudian dilanjutkan adalah nikah baโ€™ulah. Yakni, model pernikahan yang diawali oleh pihak laki-laki mengajukan pinangan terlebih dahulu yang biasanya dilakukan oleh ayahnya sendiri, pamannya, kakaknya atau boleh langsung dilakukan oleh calon mempelai. Pada saat nikah kemudian disyaratkan ada pernyataan ijab dan qabul. Pada saat pelaksanaan ikah mas kawin merupakan persyaratan yang mutlak harus ada. Setelah terjadi pernikahan, suami bertanggungjawab untuk pengadaan rumah serta 22 Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, No. 1924 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 23 Muslim, S}ah}i>h Muslim, No. 2502 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 198 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 kebutuhan hidup lainnya. Kalau kelak memiliki keturunan, maka keturunan itu harus dinisbatkan kepada Disamping tadisi ritus dan pranata sosial, tradisi kultural yang tidak kalah mendapat perhatian Nabi adalah tradisi menggubah syair. Jamak diketahui, masyarakat Arab pra Islam adalah masyarakat yang kental akan tradisi syair-menyair. Syair pada masa Arab jahiliyah mempunyai tempat yang tinggi. Dengan syair orang arab biasanya menyampaikan ide-idenya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadikan syair sebagai mata pencaharian untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah. Rasulullah Muhammad, yang notabene adalah bagian dari masyarakat Arab itu sendiri pernah mengkritik terkait persoalan syair ini. Seperti dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari, beliau menyatakan bahwa lebih baik mulut seseorang itu penuh dengan nanah ketimbang penuh dengan puisi. ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎„ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฌ ๎ƒด๎ฐ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฏ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚พ๎ง ๎ƒด๎€’ ๎‹ ๎ƒฎ๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ€๎๎‚ฟ๎ ๎‚ฟ๎€ป ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€‡ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ซ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ช ๎ƒฏ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎— ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฏ๎€ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎ƒด๎ ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒฐ๎‚ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒด๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎‚ฟ๎€’ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎™ ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€ˆ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฑ๎€œ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎ง ๎ƒ€๎€‘ ๎ƒด๎— ๎ƒฎ๎€‡ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ฒ ๎ƒฐ๎ช ๎ƒฎ๎€† ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎Š ๎ƒด๎ ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒฐ๎‚๎ƒฎ๎€–๎€Ÿ๎ƒฐ๎‚ท๎‚ฟ๎‡๎‚ฟ๎€’๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎ƒบ๎ฌ๎ƒด๎€˜๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎ƒฐ๎€ผ ๎ƒด๎€Š ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎Šื๎ƒฑ๎™ Dari Ibn Umar dari Rasulullah saw, beliau bersabda โ€œLebih baik mulutmu diisi nanah daripada diisi syair puisi.25 Kritik atau pelarangan Nabi atas syair dalam hadis ini menurut Syuhudi Ismail sebenarnya lebih karena sebuah respon atas sebuah kasus yang menimpa Nabi. Secara historis asbab al-wurud hadis ini terkait dengan suatu peristiwa perjalanan Nabi ketika dirinya ada di kota al-Aโ€™raj, sekitar 78 mil dari Madinah. Kota itu merupakan tempat pertemuan berbagai jurusan. Berbagai budaya, antara lain yang berupa syair bertemu di kota ini. Kemudian, Tiba-tiba di hadapan Rasulullah, ada seseorang yang mende-klamasikan sebuah syair. Menurut al-Nawawi, syair yang dideklamasikan itu kemungkinan isinya tidak sopan asusila, atau mungkin penyairnya orang kafir. Karenanya Nabi menyatakan celaan terhadap syair sebagaimana termaktub dalam sabdanya di atas. Oleh karena itu, pelarangan Nabi 24 Abu Hapsin, โ€œIslam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawaโ€ dalam http// 25 Al-Bukha>ri>, S}}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 5688 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 199 terhadap syair dalam konteks ini adalah lebih bersifat responsif terhadap hal yang temporal bukan pelarangan yang bersifat Sebab sejatinya, Nabi sendiri merupakan sosok manusia yang mencintai seni dan menggemari syair. Bahkan, beliau mendorong sahabatnya untuk menyusun dan melantunkan syair. Beliau bangga kalau syair digunakan sebagi alat dakwah dan membuka ajaran Islam. Hal ini dilmaksudkan agar umat Islam mendapat motivasi dan semangat tinggi dalam menjalankan tugas sucinya, berjihad. Seperti dalam sebuah hadis riwayat Ahmad Ibn Hanbal Nabi menyatakan bahwa orang mukmin berjihad dengan pedang dan lisannya. ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื๎€Ÿ ๎ƒด๎— ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฐ๎€‡ ๎ƒถ๎™ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎—๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎ƒ ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒบ๎‚ป๎ƒ๎™ ๎ƒฐ๎€• ๎ƒท๎š ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎Œ ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฏ๎€Š ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ท ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฎ๎… ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ช ๎ƒฏ๎€ƒ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€…๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎€Ÿ๎ซ๎ƒฎ๎€„๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎ƒฎ๎š๎ƒฐ๎€”๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€ผ๎ƒบ๎€ท๎€’ื๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ซ๎‚ฟ๎€’๎‹๎ƒฎ๎€ผ๎ƒฎ๎€„๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‚ฟ๎‚ด๎ƒฎ๎‚ฅ๎‹๎ƒฎ๎€˜๎ƒฎ๎€„๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎ƒฎ๎š ๎ƒฐ๎€” ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎€ฎ ๎ƒด๎€‡ ๎€Ÿ ๎ƒต๎ฅ ๎ƒด๎€’ ๎‹ ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎Œ ๎ƒฐ๎€ผ ๎‚ฟ๎€‘ ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒต๎ฅ ๎ƒด๎€’ ๎‹ ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎Œ ๎ƒฐ๎€ผ ๎‚ฟ๎€‘๎ƒถ๎ƒ ๎€’ ื๎ƒฐ๎‚๎ƒด๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฐ๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€ผ๎ƒบ๎€ท๎€’ื๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎ƒฎ๎š๎ƒฐ๎€”๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฐ๎—๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ซ๎‚ฟ๎€’๎‹๎ƒฎ๎€ผ๎ƒฎ๎€„๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎‚ฟ๎‚ด๎ƒฎ๎‚ฅ๎‹๎ƒฎ๎€˜๎ƒฎ๎€„๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎ƒ๎‚™ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ฟ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒถ๎ฌ ๎ƒด๎€˜๎€Ÿ๎ƒฎ๎Ž๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎€” ๎‹ ๎ƒฎ๎€ž ๎ƒด๎€’ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒด๎€พ ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€ž ๎ƒด๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎— ๎ƒด๎€• ๎‹ ๎ƒฎ๎€› ๎ƒฏ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎จ ๎ƒด๎€“ ๎ƒฐ๎ˆ ๎ƒฏ๎‚ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎ƒ๎‚™ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ๎€Ÿ๎ƒท๎ฌ๎ƒด๎€˜๎ƒถ๎ƒ๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€ฟ๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎…๎ƒด๎€๎€Ÿ๎‚บ๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎€„๎€Ÿ๎ƒฎ๎ฃ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎€‘๎ƒฎ๎‚น Menceritakan kepadaku Abd al-Rahman Ibn Abdillah Ibn Kaโ€™ab, sesungguhnya Kaโ€™ab Ibn Malik ketika Allah menurunkan ayat 69 dari surat Yasin27 tentang syiโ€™ir kemudian Nabi datang dan bersabda โ€œSesungguhnya Allah menurunkan ayat tentang syiโ€™ir yang sungguh telah kalian ketahui dan lihat. kemudian Nabi juga bersabda Bahwasannya orang mukmin berjihad dengan pedang dan lisannya.โ€28 Ibnu Hajar dalah kitab syarah-nya menceritakan bahwa pada satu waktu Nabi pernah mendengarkan sahabatnya mendendangkan sebuah syair dan cerita jahiliah. Tetapi, beliau membiarkannya dan hanya tersenyum saja. Cerita Ibn Hajar ini salah satunya bisa ditemukan dalam hadis riwayat al-Tirmizi berikut ini. 26 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta Bulan Bintang, 1994, hlm. 60-61. 27 ๎ƒฒ๎€ฎ ๎ƒด๎€˜ ๎ƒฏ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎‚ท ๎‚– ๎ƒฐ๎™ ๎ƒ€๎€ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎™ ๎ƒƒ๎€‘ ๎ƒด๎‚ค ๎€Ÿ ๎ด ๎ƒ๎‚™ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ช ๎ƒฏ๎€• ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎‚ท ๎ƒ๎‚™ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎‚ฟ๎€’ ๎€Ÿ ๎ฌ ๎ƒด๎€ฝ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎ƒ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€“ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฐ๎€ผ ๎ƒณ๎ƒด๎€ท๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฏ๎‚ธ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฐ๎‚๎’๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎€“๎ƒฎ๎‚น 28 Ah}mad ibn H}anbal, Musnad Ah}mad, No. 15225 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 200 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 ๎ƒฎ๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒ๎™ ๎ƒด๎€ƒ ๎‹ ๎ƒฎ๎€† ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒต๎‚ด ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒด๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎‚ฝ๎ฅ ๎€– ๎ƒ๎™ ๎ƒฎ๎€Š๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‚พ๎™ ๎ƒฐ๎€› ๎ƒฏ๎€‡ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒท๎ฌ๎ƒด๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎‹๎ƒฎ๎ƒ๎ƒฎ๎€…๎ƒถ๎—๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ ๎ซ ๎’๎ ๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒถ๎ฌ ๎ƒด๎€˜ ๎ƒถ๎ƒ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎Ž ๎ƒฐ๎€ž ๎‚ฟ๎€’ ๎‹ ๎ƒฎ๎€† ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎‚ฟ๎‚ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฏ๎‚๎ƒฎ๎… ๎ƒฐ๎€Š๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‚น ๎ƒฏ๎™ ๎‚ฟ๎€‘ ื ๎ƒฎ๎˜ ๎ƒฎ๎€™๎ƒฎ๎€– ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™๎ƒฐ๎€ผ ๎ƒบ๎€ท ๎€’ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ๎‚น๎ƒฏ๎— ๎ƒฎ๎€Š ๎‹๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€™ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ๎ƒฏ๎€ƒ ๎‹ ๎ƒฎ๎€œ ๎ƒฐ๎ฑ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท๎‹ ๎‚ฟ๎€ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒต๎‚ ๎ƒถ๎™ ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ ๎ƒฎ๎ฏ ๎‹ ๎ƒด๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒด๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€š ๎ƒƒ๎€‘ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎’๎ ๎ƒฎ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎ƒฐ๎… ๎‚ฟ๎ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื๎€Ÿ๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€“๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒด๎€“๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚•๎‹๎ƒฐ๎ง ๎ƒฏ๎„ ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฎ๎€“ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ง ๎ƒถ๎€ž ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฎ๎€„ ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒถ๎€ƒ ๎ƒฏ๎™ ๎‚ฟ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎Ž ๎ƒด๎€‘ ๎‹ ๎ƒฎ๎€‰ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎ช ๎ƒฏ๎€• ๎ƒฎ๎‚น ๎€Ÿ ๎ƒด๎ ๎ƒถ๎… ๎ƒด๎ ๎ƒด๎€• ๎‹ ๎ƒฎ๎€› ๎ƒƒ๎€’ ื Dari Jabir Ibn Samrah, dia berkata saya duduk bersama Rasulullah lebih dari seratus kali. suatu kali ada di antara sahabat-sahabatnya saling membaca syair dan saling membicarakan hal-hal tentang cerita-cerita jahiliyah. Tetapi Nabi diam saja serta sesekali tersenyum bersama mereka.โ€29 Bahkan dalam hadis yang lain diceritakan bahwa Nabi tidak hanya tersenyum, tetapi ia juga mengatakan bahwa di dalam syair ada hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒ๎จ๎ƒฎ๎‚๎ƒฐ๎€‡๎ƒถ๎™๎€’ื๎€Ÿ๎ƒด๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ๎€Ÿ๎ƒ๎™๎ƒƒ๎€๎ƒฎ๎€ƒ๎€Ÿ๎ช๎ƒฏ๎€ƒ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ฌ๎ƒด๎€”๎ƒฎ๎™๎ƒฎ๎€˜๎ƒฐ๎€ˆ๎‚ฟ๎‚—๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒบ๎‚ป๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€• ๎ƒท๎š ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฐ๎จ ๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒฒ๎Œ ๎ƒฐ๎… ๎ƒฎ๎€ผ ๎ƒฏ๎€Š ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎€” ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒ๎‚ท ๎‹ ๎ƒฎ๎‚ ๎ƒฎ๎… ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ช ๎ƒฏ๎€ƒ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎‹ ๎ƒฎ๎ƒ ๎ƒฎ๎€… ๎ƒถ๎— ๎ƒฎ๎€‡๎€Ÿ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒถ๎ฌ๎ƒฎ๎€ƒ ๎ƒ€๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚Ÿ ๎ช๎ƒฏ๎€ฝ ๎ƒฎ๎€– ๎€Ÿ ๎ƒด๎—๎ƒฐ๎€˜๎ƒฎ๎€ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒด๎‚ฃ ๎ƒฎ๎ช๎ƒฐ๎€‰ ๎‚ฟ๎‡ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎จ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒ๎จ ๎ƒฎ๎‚๎ƒฐ๎€‡ ๎ƒถ๎™ ๎€’ ื๎€Ÿ ๎ƒฎ๎— ๎ƒฐ๎€˜ ๎ƒฎ๎€๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒ๎ง ๎‚ฟ๎€ ๎ƒฎ๎€œ ๎ƒƒ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎จ ๎ƒฐ๎€ƒ ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ท ื ๎ƒฎ๎‚น ๎ƒฐ๎™๎ƒฎ๎€“๎€Ÿ๎ƒฎ๎จ๎€Ÿ๎ƒต๎Œ๎ƒฐ๎€ผ๎‚ฟ๎€‘๎‚ผ๎๎ƒฎ๎‚๎ƒƒ๎€๎ƒด๎€‡๎€Ÿ๎ƒ๎™๎ƒฐ๎€ผ๎ƒบ๎€ท๎€’ื๎€Ÿ๎ƒฐ๎จ๎ƒด๎€“๎€Ÿ๎ƒถ๎‚ท๎ƒ๎‚™๎€Ÿ๎ƒฎ๎‚ต๎‹๎‚ฟ๎€๎€Ÿ๎ƒฎ๎ง๎’๎๎ƒฎ๎€‰๎ƒฎ๎‚น๎€Ÿ๎ƒด๎ฉ๎ƒฐ๎…๎‚ฟ๎๎ƒฎ๎€๎€Ÿ๎ƒฏ๎ฉ๎’๎๎€’ื๎€Ÿ๎ซ๎’๎๎ƒฎ๎ฑ ๎€Ÿ ๎ƒด๎ฉ ๎’๎ ๎€’ ื ๎€Ÿ ๎ƒฎ๎‚ต ๎ช ๎ƒฏ๎€‰ ๎ƒฎ๎‚ฅ ๎€Ÿ ๎ƒถ๎‚ท ๎‚ฟ๎‚— ๎€Ÿ ๎ƒฏ๎‚ธ ๎ƒฎ๎™ ๎ƒฎ๎€˜ ๎ƒฐ๎€ˆ ๎‚ฟ๎‚— Sesungguhnya Ubay Ibn Kaโ€™ab memberitakan bahwa Rasulullah saw. bersabda โ€œSesungguhnya sebagian dari syair itu adalah hikmah.โ€30 Berbagai interaksi Nabi ini cukup membuktikan bahwa ketika dia bergumul dengan tradisi kultural Arab yang melingkupinya mencoba melakukan dialog yang searif mungkin. Terkadang beliau menolak, tetapi tidak sedikit pula yang beliau terima walau tak jarang juga ada modifikasi-modifikasi tertentu. Semua ini menjadi arti bahwa kehadiran Muhammad sebagai Nabi merupakan respon terhadap situasi sosial masyarakat Arab dalam rangka berdialektika dengan aneka budayanya. Tidak dalam rangka mendekontruksinya. D. Simpulan Agama dan kebudayaan secara ontologism berbeda. Agama seperti yang diyakini oleh pemeluknya berasal dari Tuhan, sedangkan kebudayaan 29 Al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, No. 2777 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. 30 Al-Bukha>ri>, S}}ahi>h al-Bukha>ri>, No. 5679 dalam CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Syaikhudin, Kearifan Dialogis Nabi atas Tradisi Kultural Arab 201 berasal dan berpangkal pada manusia. Sungguhpun demikian, agama dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari manusia. Agama diturunkan untuk manusia sebagai pedoman moral dan petunjuk tujuan hidup yang sebenarnya. Untuk itu diperlukan pemahaman dan penafsiran manusia terhadap agama dalam menjalani kehidupannya dan kebudayaannya. Pemahaman dan penafsiran ini secara sempurna dicontohkan oleh Nabi ketika dirinya berdialektika dengan tradisi kultural lokal Arab. Mulai dari ritus keagamaan, interaksi sosial, hingga hukum perdatata dan pidana diarifi dengan searif mungkin. Kalau tradisi tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, maka Nabi akan menolaknya. Tetapi bila tidak, Nabi akan menerima dan bahkan terus mentradisikannya. Daftar Pustaka Abdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual. Surabaya Khalista. 2009. Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-Fikr, 1986. Bizawie, Zainul Milal. โ€œDialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islamโ€ dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun 2003. CD-ROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Ghanim, Shalih ibn. Al-Qawaid al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, tt. Hapsin, Abu โ€œIslam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawaโ€ dalam http// Hasan, M. Tholhah. Ahlussunnah Wal-Jamaโ€™ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta Lantabora Press, 2006. Ismail, Syuhudi Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual. Jakarta Bulan Bintang, 1994. Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I. Bandung Risalah, 1985. 202 ESENSIA Vol. XIII No. 2 Juli 2012 Muโ€™izzuddin, Mochammad. โ€œKontribusi Dialek Quraisy Dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab Fushha Kajian Sosio-Psikolinguistikโ€ dalam http// Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta The Wahid Institute, 2006. ... Akibatnya proses inkulturasi dan akulturasi tradisi Arab pra-Islam dengan tradisi Islam dianggap sebagai fakta sejarah yang tidak penting untuk dikaji. 9 Umar bin Khattab, sebagaimana yang dikutip dari Abu Hapsin mengatakan bahwa Arab adalah bahan baku Islam. Artinya, tradisi pra-Islam telah banyak diadopsi dan kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Islam yang baik dan terkait dengan ritual, sosio-kemasyarakatan, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. ...Rino ArdiansyahTulisan ini bertujuan untuk menguraikan pandangan sunnah yang berasal dari tradisi masyarakat Pra-Islam sampai kepada pasca-Imam asy-Syรขfรฎโ€Ÿi. Peralihan perkembangan definisi sunnah yang terjadi pasca kemunculan Islam, terjadi kare3na perubahan contoh serta pelembagaan yang ditiru masyarakat Arab pasca-Islam. Meskipun terjadi peralihan contoh dari fase sebelumnya, akan tetapi ada beberapa tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang tetap di adopsi dan contoh oleh Nabi Saw. Sunnah kemudian bertranformasi menjadi ijtihad para sahabat. Fase ini yang kemudian menyebabkan sunnah menjadi rujukan kreatif pada masa setelahnya. โ€œsunnah yang hidup" kemudian muncul sebagai slogan yang di promosikan oleh pemikiran para Imam madzhab awal. Mereka merujuk kepada tradisi yang di verifikasi secara turun menurun dari masa sahabat. Kelemahannya, mereka mengabaikan hadis Ahad yang kemudian di kritisi langsung oleh Imam asy-Syรขfรฎโ€Ÿi. Menurut pemikiran Syรขfรฎโ€ŸI, sunnah yang hidup merupakan sunnah yang datangnya dari Nabi Saw. bukan sebuah hasil dari Ijtihad. Dalam tulisan ini, asy-Syรขfรฎโ€ŸI juga menguraikan jawaban atas tuduhannya terhadap pengabaian hadis-hadis Ahad. Sehingga pada periode setelahnya sunnah tidak lagi diperdebatkan seperti yang telah terjadi pada masa MunawirMustaโ€™in Mustaโ€™inProphet Mohammedโ€™s interpersonal communication is an appealing topic to study not only the way the communication is conveyed but also the effectiveness of the communication. Though his assignment as a messenger of God was relatively short, around 23 years, he was able to communicate his Islamic messages teachings to the Arab community successfully. He turned the Arabs from rejecting and confronting Islam into accepting and defending it. There are factors contributing to this success, and one of them is his interpersonal communication skill. This study attempts to describe Mohammedโ€™s interpersonal communication through a deep investigation into dialogic prophetic traditions hadith. This study employs a descriptive-inferential method and a subjective communicative approach. The theory used in this study is that of interpersonal communication. The findings reveal five qualities supporting the effectiveness of Mohammadโ€™s interpersonal communication in his dialogic hadiths. They are openness, empathy, supportive attitudes, positive attitudes, and equality. Ahmad Agis MubarokThis article focused on studying the socio-political history of Arabia from Roman-Persian hegemony to the rise of Islamic Arabs. The study was motivated by the historical disintegration developed among academics. History was understood in a variety of ways without clear accentuation of the developing storyline. Previous studies did not explain in detail about the social-political history of Arabia. In this way, it was necessary to re-emerge Arab social-political history with different perspectives, methods and systematic discussion, so that it was interesting to read. In this article, the author used the method of biographical and bibliographic history, a method that analyzed the nature, character, and influence of a civilization to then, it was interpretd and generalized the historical facts that surround it. The data sources were obtained from books on Arab and Islamic history, such as the book History of the Arabs by Philip K. Hitti, Ali Jawwad's Arabic History before Islam, Sirah Nabawiyah by al-Buthy, History of the Islamic Society by Hamka. The results indicated that the Arabs had a hard character, independent, solidarity, and royality towards their groups. Arab social-political atmosphere were colored by political intrigue over the struggle for influence between the three major powers of the world at that time, namely Roman, Persian, and South Arabian kingdoms under the rule of the Himyar dynasty. The rise of Arabia was marked by the birth of Islam in Hijaz. Arabic when Islam was born had great influence and civilization in the economic, social, political, cultural and scientific fields. Keyword Socio-Political, Roman-Persian, Arab NationMOCHAMMAD MU'IZZUDDINKelahiran bahasa Arab fushha di jazirah Arab tidak tidak bisa dilepaskan dari dialek-dialek yang telah berkembang semenjak pada masa pra-Islam masa jahili. Diantara dialek yang dianggap ikut andil besar terciptanya bahasa Arab Fushha, menurut beberapa linguis Arab dalam kajian dialek-dialek bangsa Arab, adalah dialek Quraisy dan dialek ini berusaha untuk mengungkap kontribusi dialek Quraisy dan dialek Tamim terhadap kelahiran dan perkembangan bahasa Arab fushha. Selain akan dibahas tentang perbedaan kedua dialek tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap kelahiran bahasa Arab fushha, tulisan ini juga mengekplorasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan Quraisy yang berasal dari kabilah Quraisy yang menduduki kota Mekah dan telah mendapatkan tempat yang utama di antara dialek-dialek Arab Utara, merupakan kontributor utama kelahiran bahasa Arab Fushha melalui bahasa al-naqsy dan sastra jahili. Sedangkan dialek Tamim yang berasal dari kabilah Bani Tamim yang dinisbatkan kepada Tamim bin Mur bin Adbin Tharikhah bin Ilyas bin Mudlar bin Nazar bin Ma'ad bin Adnan memberikan kontribusi melalui bentuk suara fononologi, bentuk kata, dan bentuk umumnya, para linguis sepakat bahwa dialek Quraisy memberikan kontribusi lebih besar dari pada dialek Tamim dalam pembentukan Arab fushha. Hal itu disebabkan oleh beberapa keunggulan yang dimiliki kabilah Quraisy, yakni kekuasaan agama, kekuatan perekonomian, kekuatan politik, dan kekuatan Haq DkkAbdul Haq dkk., Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual. Surabaya Khalista. Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-FikrWahbah Az-ZuhailiAz-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islami. Beirut Dar al-Fikr, Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi IslamZainul BizawieMilalBizawie, Zainul Milal. "DialektikaTradisi Kultural Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam" dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 14 Tahun al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, ttShalih GhanimIbnGhanim, Shalih ibn. Al-Qawaid al-Kubra. Riyadl Dar Belensiah, Wal-Jama'ah Dalam Persepsi dan Tradisi NUM HasanTholhahHasan, M. Tholhah. Ahlussunnah Wal-Jama'ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU. Jakarta Lantabora Press, Hukum IslamAbdul KhallafWahhabKhallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-kaidah Hukum Islam, vol. I. Bandung Risalah, Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa" dalamAbu HapsinHapsin, Abu "Islam Dan Budaya Lokal Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa" dalam http// Boleh jadi kita akan menganggap aneh apabila ada orang berkata bahwa tidak semua yang berasal dari Rasulullah saw itu wajib kita ikuti. Namun anggapan aneh itu akan segera hilang manakala kita telah mengetahui tentang rincian apa yang berasal dari Rasulullah saw disiplin ilmu hadis, apa yang berasal dari Rasulullah saw itu, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi saw, baik sifat fisik maupun sifat non fisik disebut hadis. Para ulama ahli hadis berpendapat bahwa hadis itu sama dengan sunnah. Sementara para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hadis mencakup empat aspek tadi, sedangkan sunnah hanya mencakup 3 aspek, yaitu, ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi para ahli hukum Islam sifat-sifat Nabi saw tidak disebut sunnah tetapi disebut hadis. Sedangkan Imam as-Syafiโ€™i W. 204 H. berpendapat bahwa hadis yang shahih disebut sunnah maka bagi Imam as-Syafiโ€™i semua sunnah adalah hadis tetapi tidak semua hadis adalah pandangan ini berangkat dari pemikiran bahwa menurut para ahli hukum Islam yang menjadi sumber syariat hukum Islam adalah sunnah, yaitu ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi saw. Sementara menurut para ahli hadis semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Nabi saw. yang oleh para ahli hukum Islam tidak dijadikan sumber syariat Islam, adalah sifat fisik Nabi saw., misalnya warna kulit beliau yang putih kemerah-merahan dan rambut beliau yang tidak terlalu keriting dan tidak terlalu pula sifat non fisik Nabi saw, seperti kesukaan beliau untuk menyantap sayur labu air, menikmati kikil kambing dan lain sebagainya. Sifat-sifat seperti ini menurut ahli hukum Islam al-Ushuliyun tidak menjadi sumber syariat Islam. Artinya umat Islam tidak wajib mengikuti sifat-sifat Nabi saw. itu, sehingga apabila ada orang yang memakan sayur labu air ia tidak akan mendapatkan pahala dan orang yang tidak memakan sayur labu air juga tidak bagi ahli-ahli hadis yang berpendapat bahwa semua yang berasal dari Nabi saw menjadi sumber ajaran Islam maka menyantap sayur labu air dan atau menikmati kikil kambing tentu ada rahasia di balik itu, karena Rasulullah saw. 1 2

hadis nabi tentang kebudayaan